- Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta " TERAMPIL " T ransparansi, E fektif dan Efesien, R amah, A kuntabel, M odern, Profesional, I ntegritas dan L ow Profil - I Situs Resmi PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA Indaryadi, August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Ketua / Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Indaryadi, Nip. 196902251991031004 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina Utama Madya IV/d . Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Joko Setiono, SH.,MH Guss_ Nurhadi August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Wakil Ketua / Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Joko Setiono, SH., MH. Nip. 19681215 199603 1 003 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina Utama Muda IV/c. Rut Endang Lestari, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Rut Endang Lestari, Nip. 197609302001122002 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina Tk. I IV/b . Indah Mayasari, SH., MH Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Indah Mayasari, SH., MH. Nip. 197904132002122004 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama / Pembina Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Pengki Nurpanji, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Pengki Nurpanji, Nip. 19780619 200212 1 003 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV/a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Mohamad Syauqie, SH., MH. Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Mohamad Syauqie, SH., MH. Nip. 197911292002121002 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Dr. Eko Yulianto, SH, MH Guss_ Nurhadi August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Dr. Eko Yulianto, SH., MH. Nip. 198007312002121003 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV/ a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Oktova Primasari, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Oktova Primasari, Nip. 197510022002122002 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama / Pembina Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Budiamin Rodding, Guss_ Nurhadi August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Budiamin Rodding, Nip. 197905032003121001 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Dr. Teguh Satya Bhakti, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Dr. Teguh Satya Bhakti, Nip. 198009172003121001 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas
ProfilHakim. Profil Pejabat Struktural / Fungsional. Profil Panitera Pengganti. Profil Pegawai. Profil Honorer. Sistem Pengelolaan Pengadilan. Yurisprudensi. Peraturan dan Kebijakan Peradilan. Tata Tertib Di Pengadilan.
BerikutProfil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Atas Nama :. Rizki Ananda, S.H.,M.H. Nip. 19910607 201712 2 001. Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Pratama Muda Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Dengan Pangkat Penata Muda Tk.I (III / b). Pendidikan Terakhir: Magister Hukum (S1)
Indonesia sebagai negara demokratis yang memiliki sistem ketatanegaraan yang membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif guna mewujudkan prinsip check and balances. Bentuk kontrol yang dimiliki lembaga yudisial kehakiman melalui lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memberikan pengayoman dan kepastian hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan tujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram seta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjadi terpeliharanya hubungan serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dengan para warga masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang yang dibuat dengan metode deskriptif analisis dan menggunakan pendekatan kualitatif. Pelaksanaan proses peradilan memiliki problematika yang sistematis dalam rangka pelaksanaan putusan hakim. Dalam hal putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Problematika yang terjadi yaitu penerapan eksekusi melalui pencabutan keputusan tata usaha Negara KTUN, Problem eksekusi melalui uang paksa, sanksi administrasi dan problem penyampaian putusan yang diumumkan di media sosial. Eksekusi putusan hakim PTUN saat ini masih mengalami berbagai problematika yang terjadi karena upaya pelaksanaan putusan diserahkan kepada pejabat TUN. Beberapa problematika yang terjadi belum diatur secara jelas dan memiliki payung hukum yang pasti. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG Problem Eksekutorial Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Satria Putra Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia E-Mail Faisalsatria996 Abstract Indonesia as a democratic country that has a system of state regulation that divides power into three, namely the legislature, executive, and judiciary to realize the principle of checks and balances. The form of control is owned by judicial institutions judiciary through judicial institutions that have the authority to provide legal certainty. The State Administrative Court as a judicial institution was formed based on Law No. 5 of 1986 to realize the state and national life system that is prosperous, safe, peaceful after order that can guarantee the position of citizens in law and become maintained a harmonious, balanced and harmonious relationship between the apparatus in the field of state administration and the citizens. This research uses normative legal research made with descriptive methods of analysis and using approaches qualitative. The implementation of the judicial process has systematic problems in the framework of the implementation of the judge's decision. In the case of the decision of the judges of the State Administrative Court, the problems that occur are the application of executions through the revocation of state administrative decisions KTUN, the problem of execution through forced money, administrative sanctions, and the problem of delivering decisions posted on social media. The execution of the PTUN judge's decision is still experiencing various problems that occurred because the efforts to implement the verdict were handed over to TUN officials. Some of the problems that occur have not been regulated and have a definite legal umbrella. Keywords Authority PTUN, Judge's Verdict PTUN , Problematic execution. Abstrak Indonesia sebagai negara demokratis yang memiliki sistem ketatanegaraan yang membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif guna mewujudkan prinsip check and balances. Bentuk kontrol yang dimiliki lembaga yudisial kehakiman melalui lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memberikan pengayoman dan kepastian hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan tujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram seta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjadi terpeliharanya hubungan serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dengan para warga masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang yang dibuat dengan metode deskriptif analisis dan menggunakan pendekatan kualitatif. Pelaksanaan proses peradilan memiliki problematika yang sistematis dalam rangka pelaksanaan putusan hakim. Dalam hal putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Problematika yang terjadi yaitu penerapan eksekusi melalui pencabutan keputusan tata usaha Negara KTUN, Problem eksekusi melalui uang paksa, sanksi administrasi dan problem penyampaian putusan yang diumumkan di media sosial. Eksekusi putusan hakim PTUN saat ini masih mengalami berbagai problematika JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG yang terjadi karena upaya pelaksanaan putusan diserahkan kepada pejabat TUN. Beberapa problematika yang terjadi belum diatur secara jelas dan memiliki payung hukum yang pasti. Kata Kunci Kewenangan PTUN, Putusan Hakim PTUN, Problematika eksekusi. PENDAHULUAN Sebagai Negara demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga lembaga, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga lembaga tersebut memiliki keterkaitan dan saling kontrol guna memenuhi prinsip “check and balances”. Peran kontrol yang dimiliki oleh lembaga yudisial kehakiman adalah melalui lembaga peradilan. Kaitan dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 Ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI 1945 menjelaskan bahwa “Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Selanjutnya dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara yag diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. UU PTUN merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang salah satu pelaksana kekuasaan peradilan bagi masyarakat yang mencari keadilan pada sengketa tata usaha Negara. Masyarakat yang mencari keadilan dimaksud adalah orang perorangan atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan TUN beschikking sehingga mengajukan gugatan ke PTUN, yang berisi tentang tuntutan atas Keputusan TUN yang disengketakan, PTUN dapat membatalkan melalui suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, secara serasi, seimbang, dan selaras antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Menurut Sjachran Basah, Tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi Negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Sedangkan Menurut Marbun tujuan Peradilan TUN adalah untuk mencegah tindakan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG administrasi Negara yang melawan hukum penjatuhan sanksi bagi pejabat negara yang merugikan masyarakat. Dalam UU PTUN diatur mengenai objek sengketa yang diberikan wewenang penyelesaiannya pada PTUN, yaitu adalah Keputusan TUN beschikking yang terdapat pada pasal 1 ayat 3 yaitu “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Namun dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terdapat perluasan makna Keputusan TUN yaitu “a Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b Keputusan badan dan/atau pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya; c berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AAUPB; d bersifat final dalam arti lebih luas; e keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan f keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.” Sedangkan PTUN berwenang menyelesaikan sengketa Keputusan TUN yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya bahwa setiap warga negara atau badan hukum yang bersengketa di PTUN mengharapkan adanya putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga ada penyelesaian yang diperoleh dari gugatan yang diberikan kepada pengadilan dalam eksekusi putusan tersebut. Masalah yang timbul dalam pelaksanaan putusan adalah sulitnya eksekusi terhadap putusan PTUN yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Berdasarkan pemaparan di atas, yang difokuskan pada penelitian ini adalah apa saja kompetensi PTUN dan muatan putusan hakim PTUN ? Apa saja problematika putusan hakim PTUN ?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan pengadilan tata usaha negara dan problem eksekutorial putusan hakim pengadilan tata usaha Negara. METODE PENELITIAN Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan statue Aprroach dalam level dogmatik hukum yang memfokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah dan norma-norma dalam peraturan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG perundang-undangan serta sumber hukum kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan mengambil bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dan diuraikan secara deskriptif analisis dengan metode penyajian kualitatif. PEMBAHASAN Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara PTUN merupakan institusi hukum yang seperti berada di tengah “keawaman” masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum mengetahui PTUN sebagai sebuah pengadilan yang dapat memutuskan sebuah sengketa. Masyarakat belum banyak memahami PTUN memiliki kewenangan mengadili sengketa antara warga atau kelompok masyarakat dengan pemerintah akibat adanya Keputusan Pemerintah yang dianggap melanggar undang-undang atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kompetensi pengadilan dibedakan menjadi dua yaitu Pertama Kompetensi relatif adalah kewenangan yang dimiliki lembaga peradilan yang mengatur tentang wilayah hukum yang mencakup wilayah kewenangannya. Pengadilan berwenang memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya. Kompetensi relatif wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dibedakan atas tiga daerah atau wilayah hukum, masing-masing meliputi wilayah kota madya atau kabupaten dan provinsi. dan Kedua Kompetensi Absolute adalah kewenangan yang berhubungan dengan kewenangan PTUN memeriksa dan mengadili suatu sengketa menurut objek atau materi atau pokok sengketa. Meskipun badan/pejabat tata usaha negara dapat digugat di PTUN, tetapi tidak semua tindakannya dapat diadili. Tindakan badan/pejabat yang dapat digugat di PTUN yaitu hanya melalui sengketa Keputusan TUN beschikking, bahkan untuk masalah pembuatan peraturan regeling yang dibuat oleh pemerintah yang bersifat umum, kewenangan untuk mengadili berada pada Mahkamah Agung melalui uji materiil. Kewenangan Absolute PTUN tidak hanya menangani Keputusan TUN saja, namun dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya, sedangkan hal itu adalah kewajiban. Menurut Sjahran Basah, PTUN memiliki pembatasan dalam kewenangannya, yaitu Pembatasan langsung yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Putusan Hakim vonnis adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar pihak. Putusan Pengadilan dibedakan atas dua macam, yaitu Pertama putusan akhir lind vonnis Putusan Akhir lind vonnis adalah putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa. Putusan akhir adalah putusan yang bersifat hukum condemnatoir, bersifat menciptakan constitutif dan bersifat menerangkan declaratif. Kedua Bukan putusan akhir putusan sela/tussen vonnis/schorsing adalah putusan oleh Hakim sebelum mengeluarkan putusan akhir dengan maksud mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka memberikan putusan akhir. Putusan sela dibedakan menjadi dua macam, yaitu putusan praeparatoir, misalnya putusan untuk menggabungkan dua perkara menjadi satu atau putusan untuk menetapkan tenggang waktu di mana para pihak harus bertindak. Putusan interlocutoir adalah putusan berisi perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan suatu hal. Jika dicermati lebih dalam, pada Pasal 97 UU PTUN menjelaskan tentang Putusan yang lebih eksplisit, pada ayat 7 menjelaskan bahwa putusan pengadilan dapat berupa “a gugatan ditolak; b gugatan dikabulkan; c gugatan tidak diterima; dan d gugatan gugur.” setelah dijatuhi putusan dan perkara dikabulkan, maka selanjutya diatur pada ayat 8 yaitu “Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.” Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dibuat diatur dalam ayat 9 yaitu “a pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara.” Dalam penjelasan pasal 97 di atas detail tentang putusan, artinya bahwa putusan tersebut memuat apa yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara terhadap isi putusan sebagai langkah eksekutorial. Isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap seharusnya menjadi dasar bagi pejabat atau lembaga tata usaha negara dalam melaksanakan keputusan yang telah menjadi “kewajiban” baginya. Namun dalam pelaksanaan putusannya ternyata masih terdapat beberapa problematika yang terjadi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG Problem Eksekutorial Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai badan peradilan yang mempunyai kewenangan menghasilkan putusan yang memiliki kekuatan tergantung pada implementasi putusan tersebut. Proses eksekusi putusan menjadi tolak ukur sarana penting dalam penyelesaian sebuah sengketa. Eksekusi putusan merupakan realisasi dari tindakan atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak yang bersangkutan. Namun dalam pelaksanaan eksekusi masih terdapat problem yang terjadi atas ketidakpatuhan para pihak dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terutama perihal sanksi yang diterima oleh pejabat negara yang tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakannya. Beberapa problemnya ialah 1. Problem penerapan eksekusi melalui Pencabutan Keputusan TUN. Putusan Pengadilan TUN yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 97 ayat 9 sub a, maka diterapkan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU TUN, yaitu “empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat 1 dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.” Berkaitan dengan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU PTUN, maka permasalahan yang muncul kapan suatu KTUN yang dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi ? Apakah terhadap KTUN yang dinyatakan tidak sah tersebut harus memerlukan eksekusi ? Terhadap permasalahan tersebut dikaitkan dengan prinsip keabsahan tindakan pemerintah, dalam hal ini KTUN terkait dengan batas kepatuhan pejabat TUN kepada hukum, maka keputusan hukum yang tidak sah, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan mengikat dan dengan demikian pula tidak perlu adanya eksekusi putusan, kecuali yang menyangkut kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan sehubungan dengan dinyatakan tidak sahnya keputusan TUN. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan “eksekusi otomatis”. Mengacu pada ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU PTUN, dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 97 ayat 9 sub a UU PTUN, justru menimbulkan hambatan dalam praktik eksekusi putusan pada Pengadilan TUN itu sendiri maupun penggugat selaku pencari keadilan, hambatan itu dapat terjadi apabila putusan Pengadilan TUN telah berkekuatan hukum tetap, tetapi tergugat tidak mau mencabut keputusan TUN yang bersangkutan dengan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG mengambil sikap diam, tidak merealisasikan eksekusi putusan Pengadilan TUN sehubungan dengan amar putusan menurut ketentuan Pasal 97 ayat 9 sub a UU PTUN, maka menurut ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU PTUN, harus menunggu empat bulan setelah keputusan TUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. 2. Problem Eksekusi melalui Uang Paksa. Penerapan uang paksa dalam konsep hukum administrasi merupakan bagian dari sanksi administrasi yang dikenakan sebagai alternatif untuk paksa nyata besturdwang yang dilakukan organ atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Pengenaan sanksi uang paksa pemerintah dwangsom dianggap sebagai putusan repatoir. Sanksi ini diterapkan jika warga negara melakukan pelanggaran. Dalam kaitannya dengan diterbitkannya Keputusan TUN yang menguntungkan, Pemohon izin diisyaratkan memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran atau pelanggar tidak segera mengakhirinya, maka uang jaminan dipotong sebagai dwangsom. Organ pemerintah dalam menetapkan uang paksa, menentukan apakah uang paksa itu dibayar dengan cara mengangsur ataupun harus sekali bayar berdasarkan waktu tertentu. Organ pemerintah juga harus menetapkan jumlah maksimum uang paksa serta memperhatikan kesesuaian dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan harus sesuai dengan tujuan ditetapkannya penetapan uang paksa. Dalam ketentuan pasal 116 ayat 4 UU PTUN yang berbunyi “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”. terdapat karakter yuridis penerapan uang paksa sebagai akibat dipenuhinya putusan Pengadilan TUN. Eksekusi putusan ini melalui pembayaran sejumlah uang paksa lazim diterapkan dalam putusan yang dikenakan dalam lingkup peradilan umum Perdata. Dalam putusan pengadilan memutuskan penghukuman terhadap yang kalah untuk suatu prestasi, maka dapatlah ditentukan dalamnya bahwa apabila yang terhukum tidak/belum memenuhi keputusan itu, yang sebagaimana disebut uang paksa. Dengan demikian uang paksa ini merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung. Permasalahan yang sering muncul dengan mekanisme pembayaran sejumlah uang paksa dalam hubungannya terhadap siapa uang paksa tersebut dibebankan ? Apakah pada keuangan instansi pejabat TUN yang bersangkutan atau kepada keuangan/harta pejabat TUN JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG tersebut secara pribadi yang tidak melaksanakan putusan Peradilan TUN, dan berapa besar nominal yang harus dibayar ? Pembebanan uang paksa tersebut harus dibebankan kepada instansi atau badan dari pejabat TUN tersebut karena jabatannya. Namun faktanya pembayaran sejumlah uang paksa tidak menyelesaikan masalah substansial yang sebenarnya terjadi terhadap sengketa TUN. Karena sebagian besar penggugat menghendaki untuk adanya perubahan atas Keputusan TUN yang merugikan dirinya. Permasalahan tersebut terkait dengan penerapan sanksi pembayaran sejumlah uang paksa menyebabkan tidak berjalannya putusan pengadilan TUN karena tidak adanya peraturan pelaksanaan dalam menerapkan sanksi berupa uang paksa. 3. Eksekusi melalui Penerapan Sanksi Administrasi Sanksi merupakan alat kekuasaan yang digunakan penguasa sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap norma hukum administrasi. Penerapan sanksi administrasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 116 ayat 4 UU PTUN merupakan sanksi yang dikenakan oleh Pengadilan TUN sebagai pelaksana fungsi yudisial terhadap pejabat TUN sehubungan tidak patuhnya dengan Putusan Pengadilan TUN. Dalam kaitannya penerapan sanksi administrasi terhadap pejabat TUN dalam kaitannya dengan pelaksanaan putusan pengadilan TUN yang tidak ditaati pejabat TUN, masih menimbulkan permasalahan siapa yang berwenang menerapkan sanksi, misalnya terhadap Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dan lainnya. Putusan hakim bersifat deklaratoir, sebatas menyatakan bahwa keputusan TUN yang disengketakan itu tidak sah atau batal. Kewenangan Pengadilan TUN hanya terbatas pada menetapkan sanksi administrasi apa yang akan dikenakan terhadap pejabat TUN. Namun dalam menjalankan penerapan sanksi administrasi yang memiliki kewenangan untuk melakukan adalah pejabat/organ pemerintahan melalui penerapan perundang-undangan. 4. Diumumkan di Media Massa Dalam pasal 116 ayat 5 disebutkan bahwa “pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan maka diumumkan pada mesia massa cetak setempat oleh panitera.” Sanksi ini bertujuan guna memberikan tekanan psikis kepada pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam ketentuan tersebut tidak ada kejelasan tentang detail data pejabat yang diumumkan, seperti nama pejabat dan jabatannya. Karena dalam mengeluarkan Keputusan TUN pejabat tersebut bukan sebagai pribadi melainkan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG sebagai pejabat. Permasalahan lain yang kemungkinan timbul terkait pengumuman di media massa yaitu rentan dituduhnya sebagai pencemaran nama baik dan dimungkinkan untuk terjadinya pelaporan balik. Berdasarkan tidak rincinya ketentuan tersebut dalam UU No 5 Tahun 1986 dan UU No 9 tahun 2004 tentang PTUN, maka seharusnya dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut atau ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang di dalamnya mengatur tentang pelaksanaan secara rinci sanksi tersebut. Jika melihat problem di atas, Menurut Irfan Fachrudin, Problem yang terjadi pada pelaksanaan putusan peradilan TUN telah terjadi sejak peradilan TUN berdiri, hingga saat ini belum ditemukan mekanisme bagaimana eksekusi dilakukan sesuai dengan materi putusan. Artinya bahwa putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak dilaksanakan eksekusinya maka tidak bermanfaat dan tidak memiliki ketetapan hukum. Seyogianya putusan hakim adalah hukum atau undang-undang yang mengikat pihak yang bersengketa, karenanya para pihak seharusnya melaksanakan putusan tersebut dengan sukarela. SIMPULAN Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kompetensi mengadili sengketa antara warga negara atau kelompok masyarakat dengan pemerintah akibat adanya Keputusan TUN beschikking sebagai hukum tertulis dan Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai hukum tidak tertulis. Dalam melaksanakan fungsi peradilan, PTUN diberi wewenang untuk memberikan Putusan Vonnis untuk menyelesaikan sebuah perkara atau sengketa antara warga negara dan pemerintah. Eksekusi putusan pengadilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap oleh pejabat TUN tidak sepenuhnya efektif, seperti eksekusi melalui pembayaran uang paksa, eksekusi putusan sanksi administrasi dan sampai pada pengumuman lewat media massa. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kepastian pelaksanaan putusan pengadilan TUN yang tidak berjalan maksimal karena upaya eksekusi diserahkan sepenuhnya kepada pejabat TUN. Beberapa problem yang terjadi terhadap eksekusi Pengadilan TUN belum diatur secara jelas di dalam peraturan perundang-undangan. Karenanya warga negara dan pejabat/organ pemerintahan banyak yang tidak mematuhi putusan tersebut. JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG DAFTAR PUSTAKA Irvan Mawardi, 2016, Paradigma Baru PTUN, Yogyakarta Thafa Media. Ismail Rumadan, 2012, Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol 1 No 3, DOI Ivan Fauzani Raharja, 2014, Penenegakan Hukum Sanksi Administrasi, Jurnal Inovatif, Vol 7 No 2. Nico Utama Handoko, 2020, Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN dan Implikasi Dalam Pelaksanaannya, Jurnal Pakuan Law Review, Vol 6 No 02, DOI R. Wiyono, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Cet 2, Jakarta Sinar Grafika. Rechtreglement voor de Buitengewesten Ridwan, dkk, 2018, Perluasan Kompetensi Absolute PTUN, Yogyakarta Kreasi Total Media. __________, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta FH UII Press. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Cet-3, Yogyakarta FH UII Press. ___________, 2018, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta FH UII Press. Sjahran Basah, 1984, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung Alumni. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Yahya Harahap, 2009, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta Sinar Grafika. ... State Businesses that fail to comply with Article 97 Subsections B and C and implement State Administrative Court judgements. Putra, 2021 One could argue that the use of forced money under the idea of administrative law is a sort of administrative sanction used by government organs or officials as an alternative to real coercion bestuursdwang in carrying out their duties. The legal purpose of these sanctions, which were imposed directly without a court order, is "reparatoir," which means that they are meant to stop future harm or loss while also restoring the situation to how it was before. ...Eka Deviani Marlia Eka PutriDaffa Ladro KusworoThe problem that occurs next is that not many TUN Courts have handed down dwangsom in decisions to strengthen the executable decision, as a result of implementing regulations for coercive measures that are not yet Government Regulation PP Number 43 of 1991 concerning Compensation and Processes for its Implementation in the State Administrative Court, Article 117 of Law No. 51 of 2009 is implemented by the regulation specified in that regulation. The two main rules of the PP are compensation and compensation. Because forced money dwangsom is distinct from compensation or compensation, from a legal standpoint, the PP still does not take into account the laws on forced money techniques. The term "legal vacuum" rechtsvacuum refers to a situation where some things have not been covered by positive legislation, given that the law itself cannot address all facets of life that are constantly methodology taken in this text is juridical-normative, or based on legal material and looking at concepts, theories, legal principles, and statutory rules. The study's findings indicate that there are varying and mutually counterproductive norms regarding the quantity of forced money to be paid, the kinds of administrative sanctions to be applied, and the methods for carrying them out, along with transfers of positions and the filling of the Plaintiff's positions by other people, all of which delay the administration of RumadanThe existence of the Administrative Court in the judicial system in Indonesia as a manifestation of the commitment of the state to provide legal protection of individual rights and the rights of the general public so as to achieve harmony, harmony, balance, and dynamic and harmonizing the relationship between citizens and the State. But the execution of the decision of the Administrative Court which have permanent legal force by the State Administration officials are not fully effective, although the mechanisms and the stages of execution has been carried out. Factors causing poor execution of the decision of the Administrative Court, among others; absence of rule of law that forced the officials to implement the State Administrative Court's decision the commandment of the judge's decision that dare not include the forced payment of a sum of money when the state administration officials concerned did not implement the decision of the Court; factor and compliance officials in carrying out the State Administrative Court decision. Keywords Execution, Judgment of the MawardiIrvan Mawardi, 2016, Paradigma Baru PTUN, Yogyakarta Thafa Ivan FauzaniIvan Fauzani Raharja, 2014, Penenegakan Hukum Sanksi Administrasi, Jurnal Inovatif, Vol 7 No Eksekutorial Putusan PTUN dan Implikasi Dalam PelaksanaannyaNico Utama HandokoNico Utama Handoko, 2020, Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN dan Implikasi Dalam Pelaksanaannya, Jurnal Pakuan Law Review, Vol 6 No 02, DOI Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Cet 2, Jakarta Sinar GrafikaR WiyonoR. Wiyono, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet 2, Jakarta Sinar Grafika. Rechtreglement voor de BuitengewestenDkk RidwanRidwan, dkk, 2018, Perluasan Kompetensi Absolute PTUN, Yogyakarta Kreasi Total Administrasi Negara I___________, 2018, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta FH UII dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di IndonesiaSjahran BasahSjahran Basah, 1984, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung Alumni. PengantarKetua Pengadilan; Visi dan Misi Pengadilan; Tugas Pokok dan Fungsi; Profile Pengadilan. Sejarah Pengadilan; Struktur Organisasi; Wilayah Yuridiksi; Alamat Pengadilan; Profile SDM. Profil Ketua; Wakil Ketua; Profil Hakim; Profil Pejabat Kesekretariatan; Profil Pejabat Kepaniteraan; Profil Pegawai ASN Penataan Tata Laksana; Area IIISikap Hakim Pengadilan Tata Usaha NegaraTerdapat perbedaan antara hakim dalam Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara PTUN, hal mana hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara PTUN diberikan peran aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan mengarah pada ajaran pembuktian bebas W. Riawan Tjandra, S. H., M. Hum, Litis Domini Principle, Yogyakarta Universitas Atmajaya, 2004, hlm. 1.Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki ciri khas yang membedakannya dengan hakim di Lembaga peradilan lainnya. Ciri khas tersebut adalah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki peran aktif yang mendominasi proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara karena terikat pada asas Dominus Litis. Asas Dominis Litis ini sangat diperlukan untuk menyeimbangkan posisi para pihak pada proses pembuktian di persidangan Riawan Tjandra, 2010, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, hlm 119.Hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara PTUN diberikan peran aktif karena hakim tidak mungkin membiarkan dan mempertahankan tetap berlakunya suatu keputusan administrasi negara yang nyata-nyata keliru dan jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku hanya karena alasan para pihak tidak mempersoalkannya dalam objek sengketa. Berkaitan dengan sistem yang berlaku di negara kita sebagaimana pada umumnya di negara-negara yang bersistem hukum civil law Eropa Kontintetal, kita mengenal adanya metode penemuan hukum rechtsvinding yang dihasilkan dari kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi knowledge and experience Paulus Effendi Lotulung, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara Peratun, Jakarta Salemba Humanika, 2013, hlm. 101.Mana kala hakim menghadapi kasus-kasus konkret yang harus diadilinya dan dimana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat yang senantiasa berkembang dan lain sebagainya, maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk mencari hukum dan menemukan hukum sebagai solusi dalam kasus yang dihadapinya yang harus dipecahkan dan diputuskan secara tepat dan posisi para pihak menjadi sangat penting pada Peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan kedudukan para pihak tidaklah seimbang. Sengketa Tata Usaha Negara melibatkan pihak penggugat yakni masyarakat individu atau badan hukum perdata dan pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha lihat dari posisi antara pihak penggugat dan tergugat dapat kita ketahui bahwa pihak Tergugat memiliki akses informasi yang lebih besar untuk proses pembuktian jika kita bandingkan dengan kesempatan yang dimiliki oleh penggugat. Oleh karena itu, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat lalai melepaskan diri dari asas keaktifan hakim ini karena akan sangat merugikan pihak Penggugat. Asas keaktifan hakim ini merupakan sarana bagi hakim untuk menggali kebenaran materiil selama proses pembuktian Ali Abdullah M., 2017, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen, Jakarta, Kencana, hlm 15.Peran aktif hakim juga sangat dibutuhkan pada penyelesaian sengketa Keputusan Fiktif Positif. Hal ini dikarenakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam permohonan keputusan fiktif positif bersifat final dan mengikat atau yang dikenal dengan istilah inkracht van gewijsde. Tri Cahaya Indra Permana, 2016, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Genta Press, hlm. 22Dengan kata lain, terhadap putusan dengan objek sengketa keputusan fiktif positif, tidak dapat dikenakan upaya hukum lagi oleh Pemohon maupun Termohon sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 18 Peraturan Mahkamah Agung Perma Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/ atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berbunyi "Putusan Pengadilan atas penerimaan Permohonan untuk mendapatkan Keputusan dan/ atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan bersifat final dan mengikat". Namun di dalam praktiknya terhadap hasil Putusan Fiktif Positif, para pihak tetap bersikukuh mengajukan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung MA. Berdasarkan Kaidah hukum Dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 175 PK/TUN/2016 yang terpilih sebagai Putusan Landmark Decisions pada tahun 2017 yang dikatakan didalamnya Tim Pokja Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017, Laporan Tahunan 2017 Mahkamah Agung Republik Indonesia Meningkatkan Integritas dan Kualitas Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan Kemandirian Badan Peradilan, Jakarta, Mahkamah Agung, hlm 215 “Lembaga Fiktif Positif di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memang tidak mengatur adanya upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. Namun demikian, Mahkamah Agung perlu membukanya sebagai sarana “corrective justice” apabila judex facti di pengadilan tingkat pertama yang putusannya bersifat final dan mengikat berkekuatan hukum tetap telah melakukan kekhilafan yang nyata”Meskipun demikian, secara normatif, hal demikian tetap tidak menghapus ketentuan bahwa terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan objek sengketa Keputusan Fiktif Positif tidak dapat diajukan upaya hukum baik itu upaya hukum biasa Banding dan Kasasi maupun upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. Dengan demikian, bahwa para peradilan tingkat pertama merupakan satu-satunya kesempatan bagi pemohon. Oleh karena itu, peran hakim sangat dibutuhkan dalam Penyelesaian Sengketa Keputusan Fiktif Positif demi terciptanya keadilan bagi para pencari ada beberapa artikel yang telah mengulas tentang Keputusan Fiktif Positif. Meskipun terbilang baru, yakni sejak dikeluarkannya Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tetapi cukup banyak artikel yang telah mengulas keputusan fiktif positif. Enrico Simanjuntak meneliti tentang bagaimana pengaruh Keputusan Fiktif Positif terhadap kemudahan berusaha di Indonesia di mana hal ini dikaitkan dengan pentingnya peranan hukum dengan globalisasi ekonomi Enrico Simanjuntak, 2018, “Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indoensia”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018, hlm 308Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh M. Aschari dan Fransisca R. Harjiyatni, mereka mengkaji tentang kompetensi absolut yang dimiliki oleh Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa keputusan fiktif positif M. Aschari & Fransisca Romana Harjiyatni, 2017, “Kajian Tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Fiktif Positif”, Jurnal Kajian Hukum, Volume 2, Nomor 1, 2017, hlm. 25Sedangkan Kartika Widya Utama menyoroti mengenai penerapan Keputusan fiktif positif terhadap peraturan hibah daerah Kartika Widya Utama, 2019, “Penerapan Fiktif Positif Terhadap Peraturan Hibah Daerah”, Law Reform, Volume 15, Nomor 2, September 2019, hlm. 195Demikian penjelasan singkat mengenai Sikap Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima PustakaRiawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, Abdullah M., Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen, Jakarta, Kencana, Cahaya Indra Permana, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Genta Press, Pokja Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2017 Mahkamah Agung Republik Indonesia Meningkatkan Integritas dan Kualitas Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan Kemandirian Badan Peradilan, Jakarta, Mahkamah Agung, Simanjuntak, “Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indoensia”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 7, Nomor 2, Agustus Aschari & Fransisca Romana Harjiyatni, 2017, “Kajian Tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Fiktif Positif”, Jurnal Kajian Hukum, Volume 2, Nomor 1, Widya Utama, “Penerapan Fiktif Positif Terhadap Peraturan Hibah Daerah”, Law Reform, Volume 15, Nomor 2, September 2019.
Karirnyaterus menanjak diantaranya sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, dan pada Tahun 2010 Dr. Supandi, S.H., M.H., dilantik menjadi hakim agung.
BerandaKlinikPertanahan & PropertiPerkara Pertanahan, ...Pertanahan & PropertiPerkara Pertanahan, ...Pertanahan & PropertiJumat, 30 April 2021Jika ada sengketa terkait pertanahan, peradilan manakah yang berwenang mengadili? Pengadilan Negeri atau Tata Usaha Negara?Dalam perkara pertanahan ada 2 kewenangan berlainan yang harus diperhatikan. Secara singkat, Peradilan Tata Usaha Negara “PTUN” berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi dalam penerbitan surat pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah. Sedangkan peradilan umum berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah itu sendiri. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan “Permen ATR/Kepala BPN 21/2020” membedakan kasus pertanahan menjadiSengketa pertanahan, yakni perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.[1]Konflik pertanahan, yakni perselisihan tanah antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.[2]Perkara pertanahan, yakni perselisihan tanah yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.[3]Berdasarkan ketentuan tersebut, kami asumsikan yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah perkara pertanahan, bukan sengketa pertanahan mengingat penyelesaian perkara pertanahan dilakukan melalui lembaga terjadi perkara pertanahan, peradilan manakah yang berwenang mengadili? Untuk menjawabnya, mari kita bahas satu per satuPeradilan Tata Usaha Negara “PTUN”PTUN adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara “TUN”.[4]Indroharto dalam bukunya Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara Edisi Revisi menjelaskan yang dapat digugat ke peradilan TUN hanyalah keputusan TUN, yakni suatu penetapan tertulis beschikking yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata hal ini, yang dimaksud dengan badan/pejabat TUN yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]Jika dikaitkan dengan persoalan pertanahan, pada dasarnya sertifikat tanah atau dokumen bukti hak atas tanah yang dalam hal ini diterbitkan oleh badan atau pejabat dapat dikategorikan sebagai keputusan ini mengingat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah “PP 24/1997” mengatur Badan Pertanahan Nasional “BPN” berwenang melakukan pendaftaran tanah, yang diantaranya meliputi pemberian sertifikat hak atas tanah kepada pemegang hak yang bersangkutan, serta hak-hak tertentu yang membebaninya.[6] Hal tersebut merupakan perwujudan salah satu fungsi BPN, yaitu perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak dan pendaftaran tanah.[7]Dengan demikian, seseorang yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan TUN yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi dalam hal ini misalnya penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh BPN, dapat mengajukan gugatan ke UmumKekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding, dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.[8]Secara umum, peradilan umum berwenang menangani perkara pidana dan dari Perbedaan Pokok Hukum Pidana dan Hukum Perdata, perkara perdata bersifat privat, yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan, hanya berdampak langsung bagi para pihak yang terlibat dan tidak berakibat secara langsung pada kepentingan dikaitkan dengan perkara pertanahan, seseorang yang merasa kepentingannya dilanggar, dalam hal kepemilikan hak atas tanah, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan KasusSebagai contoh, kita dapat melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 976 K/PDT/2015 yang menjadi sumber yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 5/Yur/Pdt/ ringkas Penggugat, berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 158/2006, membeli sebidang tanah dan bangunan dari Turut Tergugat I yang telah bersertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 46 tertanggal 11 Februari 1993 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung dengan masa berlaku haknya sampai 21 Juli 2013. Setelah dibeli, sertifikat tersebut kemudian dibalik tahun kemudian, saat Penggugat hendak menyewakan tanahnya kepada pihak lain, Penggugat didatangi oleh Tergugat I dengan membawa surat yang pada pokoknya menyebutkan bahwa tanah dan bangunan yang dibeli Penggugat tersebut adalah aset TNI AD KODAM sesuai sertifikat Hak Pakai Nomor 18 tanggal 28 Agustus 1998 dan memerintahkan Penggugat untuk mengosongkan tanah dan bangunan Mahkamah Agung kemudian berpendapat, jika terdapat sertifikat ganda atas tanah yang sama, dimana keduanya sama-sama otentik maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit lebih dahulu. Oleh karena itu, hakim kemudian menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum “PMH” dan menyatakan Penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah menjawab pertanyaan Anda, Peradilan TUN berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi dalam penerbitan surat pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah. Sedangkan peradilan umum berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas informasi hukum yang ada di Klinik disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra jawaban dari kami, semoga HukumUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional;Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara Edisi Revisi. Jakarta Pustaka Sinar Harapan, Mahkamah Agung Nomor 976 K/PDT/2015.[1] Pasal 1 angka 2 Permen ATR/Kepala BPN 21/2020[2] Pasal 1 angka 3 Permen ATR/Kepala BPN 21/2020[3] Pasal 1 angka 4 Permen ATR/Kepala BPN 21/2020[6] Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat 1, dan Pasal 5 PP 24/1997Tags e7ReScs.